Tags

SastraPengamat sastra Indonesia, Eka Budianta menilai novel berjudul “Hatinya Tertinggal di Gaza”, karya Sastri Bakry tidak bisa dikatakan murni sebagai novel dengan landasan fiksi karena novel ini berbanding seimbang dengan bentuk-bentuk karya jurnalistik yang kuat dengan reportase.

“Ada upaya serius dari penulis untuk menggambarkan detail tentang lembaga-lembaga dan gedung resmi pemerintahan dalam novel ini. Mengacu pada spesifikasi novel yang kita persepsi selama ini, maka ‘Hatinya Tertinggal di Gaza’ secara tekstual tidak lagi bisa dikatakan sebagai novel,” kata Eka Budianta, saat bedah novel “Hatinya Tertinggal di Gaza”, di Pusat Dukomentasi Sastra HB Yasin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Kalau pihak-pihak tertkait dengan lembaga resmi yang digambarkan dalam novel tersebut tidak setuju, lanjut Eka Budianta, jelas akan menimbulkan perkara dan penulis bisa dituntut. “Tapi terlepas dari itu semua, disamping penggambaran detail lembaga-lembaga resmi sebagai sebuah kelemahan, saya juga menempatkan penggambaran detail itu sebagai sebuah kekuatan baru dari karya Sastri Bakry ini,” ujar Eka Budianta.

Hal lain yang juga tidak kalah penting dari kehadiran novel ini adalah mendalami substansi kenapa dan untuk apa novel ini ditulis oleh Sastri. “Nampaknya novel ini terapi efektif bagi penulis untuk penyembuh situasi dan kondisi psikologi yang lemah menjadi kuat serta diharapkan penulis sebagai media pendidikan bagi siapa pun yang membacanya dan novel ini telah menetapkan Sastri Bakry sebagai novelis Indonesia yang memperkaya khasanah sastra nasional dan Asean.”

Kemampuan penulis dalam memaparkan detail setiap lembaga resmi tentu sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan perjalanan hidup Sastri Bakry yang luar biasa, termasuk pengalaman batin dan spiritual ditinggal suami.

Hatinya Tertinggal di Gaza sekaligus menawarkan bagaimana semestinya seorang perempuan yang ditinggal suami untuk bisa menjalani kebelangsungan hidup yang masih panjang. Mungkin, kalau Sastri Bakry tidak ditinggal suaminya (meninggal,red), agaknya novel ini tidak akan pernah selesai. Jadi ini sebuah gambaran interaksi penulis dengan alam,” ungkap Eka Budianta.

Di tempat yang sama, analis sastra Leon Agusta menyebut ‘Hatinya Tertinggal di Gaza’ sebagai satu buku yang semuanya diproses dengan tergesa-gesa. “Ini terkesan semuanya serba bergegas hingga nyaris menjadi buku, tapi uniknya karya Sastri Bakry lebih terang-benderang dibanding novel yang sesungguhnya dalam menggambarkan sesuatu,” tutur Leon Agusta.

Lebih lanjut dikatakannya, pengarang hanya hadir di draft awal cerita. Tapi pada draft finishing, kekuatan dan kecirian pengarang teredusi. “Mestinya, dalam sebuah novel yang terbilang baik, penulis harus selalu hadir secara utuh dan jangan hanya sampai di draft,” tegas Leon Agusta.